Infrastruktur Sekolah, saya pernah mengunjungi sebuah sekolah dasar di pinggiran Karawang saat meliput kisah inspiratif anak-anak di daerah terpencil. Hari itu hujan deras mengguyur. Ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat aman malah banjir karena gentengnya bocor. Murid-murid terpaksa berdiri sambil memegang buku di atas kepala.
Miris? Pasti. Tapi anehnya, semangat mereka belajar tetap menyala. Salah satu anak, namanya Dimas, malah berkata dengan polos, “Gak apa-apa, Kak. Nanti juga kering sendiri.” Saya terdiam. Infrastruktur sekolah boleh rapuh, tapi mental anak-anak itu jauh lebih kuat dari beton mana pun.
Namun, pertanyaannya: sampai kapan kita mengandalkan semangat semata dan mengabaikan kenyamanan serta keamanan fasilitas pendidikan?
Infrastruktur sekolah adalah fondasi nyata dari kualitas pendidikan. Bukan cuma dinding, atap, atau toilet. Tapi seluruh ekosistem belajar—dari ventilasi yang sehat, pencahayaan yang cukup, meja-kursi yang ergonomis, sampai jaringan internet yang stabil.
Kalau fondasinya rapuh, wajar kalau sistem belajar goyah.
Sekolah Bocor, Tapi Semangat Siswa Tetap Mengalir
Belajar Itu Butuh Ruang yang Layak, Bukan Heroisme Tiap Hari
Kita sering mendengar kisah guru yang mengajar dengan penuh dedikasi meski tanpa papan tulis yang layak, atau siswa yang menyeberangi sungai demi sekolah. Ya, itu inspiratif. Tapi… mengapa kita terus-terusan meromantisasi penderitaan?
Infrastruktur sekolah yang memadai seharusnya jadi standar, bukan hadiah langka. Coba pikirkan: bagaimana seorang guru bisa menjelaskan konsep IPA jika tidak ada laboratorium yang layak? Atau bagaimana anak-anak bisa fokus belajar matematika jika suara bising dari luar masuk karena jendela bolong dan dinding retak?
Contohnya di Sulawesi Tengah, seorang guru bernama Bu Rina mengaku harus membawa laptop pribadi dan proyektor mini tiap hari agar bisa menampilkan video pembelajaran. Alasannya? Sekolahnya tidak punya fasilitas multimedia. Itu artinya, beban guru jadi dobel—mengajar dan menutupi kekurangan infrastruktur.
Sementara di kota besar seperti Jakarta atau Bandung, beberapa sekolah swasta sudah menerapkan sistem smart classroom, dengan papan digital interaktif dan koneksi internet super cepat. Jomplangnya terlalu nyata untuk diabaikan.
Kesenjangan ini bukan cuma soal kaya dan miskin. Tapi soal prioritas. Ketika pembangunan stadion lebih cepat dari pembangunan ruang kelas, kita harus bertanya ulang: masa depan bangsa kita ini, sebenarnya mau diarahkan ke mana?
Dampak Langsung Infrastruktur ke Psikologi dan Prestasi
Jangan remehkan pengaruh infrastruktur terhadap psikologi siswa. Banyak riset menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang bersih, terang, dan teratur bisa meningkatkan konsentrasi dan produktivitas siswa secara signifikan.
Saya pernah mewawancarai seorang psikolog pendidikan, Mbak Ayu Rahman. Ia bilang, “Anak-anak yang belajar di ruang kelas sempit, panas, dan gelap cenderung punya stres ringan tanpa mereka sadari.” Bayangkan jika itu terjadi terus-menerus selama 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, dan 3 tahun lagi di SMA. Efeknya bukan cuma akademik, tapi mental jangka panjang.
Kita juga harus bicara soal toilet. Ya, toilet. Banyak siswa perempuan di sekolah-sekolah daerah enggan masuk saat menstruasi karena tidak tersedia toilet bersih dan aman. Ini membuat mereka sering bolos, tertinggal pelajaran, dan akhirnya tidak percaya diri.
Infrastruktur sekolah yang buruk juga menormalisasi ketidaknyamanan. Lama-lama, siswa jadi terbiasa hidup dalam kekurangan dan menganggap itu sebagai hal yang wajar. Ini bahaya, karena secara tidak langsung mereka kehilangan hak untuk menuntut lingkungan yang lebih baik.
Sebaliknya, ketika siswa belajar di tempat yang nyaman, rapi, dan ramah, rasa percaya diri mereka meningkat. Mereka merasa dihargai, dan itu memengaruhi semangat belajar serta relasi mereka dengan guru.
Peran Teknologi dan Pemerataan Akses—Mimpi atau Kenyataan?
Mari realistis. Di era digital seperti sekarang, akses teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari infrastruktur sekolah. Tapi yang terjadi di lapangan, gap-nya masih terlalu besar. Sekolah di kota besar sudah pakai sistem absensi online dan ujian berbasis aplikasi. Sementara di sekolah pedalaman, sinyal saja masih jadi kemewahan.
Tahun 2023 lalu, saya sempat terlibat dalam program distribusi laptop ke beberapa SD di Kalimantan Barat. Antusiasme para guru luar biasa. Tapi satu hal bikin kami terdiam: sebagian besar murid bahkan belum pernah memegang keyboard.
Lucu? Sedih, lebih tepatnya.
Infrastruktur digital sekolah bukan soal gaya-gayaan atau ikut tren. Tapi soal menyamakan kesempatan. Kalau anak-anak desa tidak diberi alat dan ruang yang sama dengan anak-anak kota, maka ketimpangan akan terus membesar. Di masa depan, mereka bukan cuma kalah bersaing di dunia kerja, tapi juga kehilangan kepercayaan diri untuk bermimpi besar.
Pemerintah sudah banyak bicara soal digitalisasi pendidikan. Tapi eksekusinya sering tidak merata. Beberapa sekolah dapat bantuan, tapi tidak disertai pelatihan. Beberapa guru pegang perangkat, tapi tidak tahu cara menggunakannya. Akhirnya, alat canggih jadi pajangan.
Infrastruktur teknologi di sekolah seharusnya bukan hanya hadir, tapi juga digunakan dengan bijak dan efektif. Itu kuncinya.
Harapan Baru dari Komunitas, Kolaborasi, dan Konsistensi
Meskipun tantangannya besar, saya percaya kita tidak kehabisan harapan. Banyak komunitas lokal dan startup pendidikan mulai turun tangan. Ada yang membuat program renovasi sekolah berbasis donasi publik. Ada juga yang mengadakan pelatihan digital untuk guru di daerah.
Salah satu contohnya adalah gerakan “Sekolah Bisa” yang saya temui di Yogyakarta. Mereka menghubungkan donatur, arsitek, dan guru untuk mendesain ruang kelas ramah anak dengan biaya murah. Bahkan, sebagian bahan bangunan mereka pakai dari hasil daur ulang botol plastik. Kreatif banget, kan?
Tapi semua ini gak akan bertahan tanpa dukungan pemerintah dan konsistensi kebijakan. Infrastruktur sekolah bukan proyek lima tahun. Ia harus jadi agenda jangka panjang. Harus ada pemetaan detail—sekolah mana yang perlu renovasi mendesak, mana yang butuh akses internet, dan mana yang kekurangan air bersih.
Yang lebih penting: harus ada transparansi. Sudah berapa sekolah yang diperbaiki tahun ini? Anggarannya berapa? Siapa pelaksananya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus bisa dijawab oleh publik. Karena pendidikan adalah urusan kita semua.
Infrastruktur Sekolah Adalah Cerminan Nilai Kita
Kalau kita bicara soal pendidikan sebagai investasi masa depan, maka infrastruktur sekolah adalah wadah investasinya. Bayangkan kamu ingin menyimpan emas, tapi disimpan di kotak karton tipis. Sama aja bohong.
Anak-anak Indonesia berhak mendapatkan ruang belajar yang layak. Guru-guru kita layak mengajar di tempat yang aman dan mendukung. Dan sebagai bangsa, kita layak bangga jika setiap sekolah—dari Sabang sampai Merauke—bisa berdiri kokoh, bukan cuma secara fisik, tapi juga secara makna.
Mari berhenti meromantisasi penderitaan dan mulai bicara soal solusi nyata. Karena masa depan tak dibentuk dari kata-kata manis, tapi dari ruang kelas yang kokoh dan fasilitas yang setara.
Baca Juga Artikel dari: Transformasi Asrama Siswa Modern: Lebih dari Tempat Tinggal
Baca Juga Konten dengan Artikel terkait Tentang: Pengetahuan