Tragedi Calon Pengantin

Tragedi Calon Pengantin di Palembang: Luka, Dendam, dan Cinta

Tragedi Calon Pengantin Palembang, Minggu pagi, 11 Mei 2025. Suasana di sebuah rumah di kawasan 5 Ulu tampak berbeda dari biasanya. Tamu-tamu datang berpakaian rapi, membawa bingkisan dan senyum yang tulus. Semuanya menantikan momen sakral: akad nikah Ahmad Handa (30) dan Faridah Ariyani, kekasih yang sudah lama dipacarinya.

Tapi tak ada yang menyangka, hari itu akan berubah menjadi kisah duka yang mencabik rasa. Saat Ahmad turun dari mobil menuju kediaman mempelai wanita, ia disergap lima pria bersenjata tajam. Mereka menyerangnya secara brutal di depan warga yang terpana, terlalu syok untuk bereaksi cepat. Ahmad mengalami luka bacok di punggung, leher, dan tangan. Ia ambruk bersimbah darah sebelum akhirnya dilarikan ke RSUD BARI Palembang.

Kisah ini seperti diambil dari skenario drama kriminal, tapi nyata. Ahmad adalah Tragedi Calon Pengantin yang dipaksa melewatkan momen sakral hidupnya di atas ranjang rumah sakit, bukan pelaminan.

Namun yang terjadi setelah itu justru membuka bab baru tentang cinta, keberanian, dan komitmen yang tidak luntur oleh luka.

Antara Cinta dan Luka—Akad Nikah di Rumah Sakit

Tragedi Calon Pengantin

Dalam kondisi penuh perban dan efek obat bius pascaoperasi, Ahmad tetap melangsungkan akad nikah. Keluarga, penghulu, dan saksi hadir di ruang perawatan. Faridah, dengan mata sembab namun langkah mantap, menggenggam tangan pasangannya yang terbaring lemah. “Saya terima nikahnya…” kalimat itu tetap mengalir meski tubuhnya nyaris tak bisa bergerak.

Dokter yang berjaga menyebut Ahmad kehilangan cukup banyak darah, tapi stabil secara medis. Namun kondisi psikologisnya—dan tentu saja Faridah—memerlukan pemulihan yang panjang. Keluarga tetap menjamu tamu di rumah sesuai rencana awal, meski suasananya tentu jauh dari semarak yang diharapkan.

“Kalau bukan karena cinta, saya gak tahu bisa sekuat ini,” ujar Faridah singkat, saat diwawancarai oleh media setempat.

Bagi banyak orang, keputusan untuk tetap menikah di tengah kondisi itu terdengar luar biasa. Tapi justru di sinilah kekuatan dari janji yang sejatinya dibuat saat dua orang memutuskan untuk hidup bersama—dalam sakit, duka, dan ketidakpastian.

Dendam Lama yang Meledak di Hari Istimewa

Polisi kemudian mengungkap bahwa serangan ini bukan perampokan. Bukan pula kejadian acak. Salah satu pelaku diketahui adalah Jono alias Ian, musuh lama Ahmad. Menurut pengakuan korban kepada penyidik, keduanya pernah berselisih pada 2019 lalu dalam sebuah perkelahian yang membuat Jono mengalami luka tusuk.

Selama bertahun-tahun, tidak ada pertemuan. Tapi ternyata dendam itu tidak pernah padam. Ahmad diduga telah lama menjadi target pembalasan. Dan hari pernikahannya—hari di mana semua orang lengah, hari di mana semua perhatian tertuju pada kebahagiaan—justru dipilih sebagai momen untuk melancarkan serangan.

Motif pribadi dan perasaan balas dendam yang tak terselesaikan seringkali menjadi bahan bakar bagi kekerasan yang tidak hanya menghancurkan satu nyawa, tapi juga menampar seluruh tatanan sosial yang sehat. Ahmad menjadi contoh nyata dari seseorang yang dihukum secara brutal karena masa lalu yang belum berdamai.

Refleksi Besar—Apakah Calon Pengantin Aman?

Kejadian di Palembang bukan yang pertama. Pada akhir 2023, sebuah kasus serupa terjadi ketika seorang pria bernama Farid Affandi ditikam oleh mantan kekasih calon istrinya. Motifnya klasik: cemburu. Tapi cara yang ditempuh: fatal. Farid tewas di tempat, hanya beberapa hari sebelum hari pernikahannya.

Pertanyaannya: seberapa aman calon pengantin di Indonesia?

Tradisi pernikahan sering kali penuh euforia, tapi juga membuat individu jadi sangat “terbuka”. Nama dan lokasi calon pengantin tersebar luas. Rangkaian acara banyak. Aktivitas meningkat drastis. Dan dalam keramaian itu, potensi celah keamanan jadi besar.

Tidak semua orang yang hadir dalam hidup kita datang membawa niat baik. Ada yang masih menyimpan luka, iri, bahkan niat jahat yang dibungkus rapi. Karena itu, pengawasan, pengamanan, dan kontrol psikologis dalam keluarga sangat penting menjelang pernikahan.

Dan ini bukan sekadar tugas polisi atau tetangga. Komunitas dan keluarga besar perlu hadir dalam menyaring, mengamankan, dan memperkuat sistem dukungan bagi pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan.

Setelah Luka, Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Kisah Ahmad dan Faridah meninggalkan banyak pelajaran. Tidak hanya tentang keberanian dan cinta, tapi juga tentang sisi gelap yang kadang kita abaikan dalam euforia pesta.

1. Pentingnya Damai dengan Masa Lalu

Konflik lama yang tidak selesai bisa menjadi bom waktu. Memaafkan bukan berarti lemah. Tapi membiarkan luka mengendap tanpa penyelesaian hanya akan menyulut kekerasan.

2. Calon Pengantin Butuh Perlindungan Emosional dan Fisik

Bukan hanya soal undangan, katering, atau dekorasi. Keamanan pribadi juga harus diperhitungkan. Jika ada konflik terbuka dengan orang lain—baik mantan, musuh, atau pesaing—segera libatkan tokoh masyarakat atau bahkan aparat.

3. Perkuat Mental, Jangan Gampang Terpancing

Banyak calon mempelai fokus pada tampilan luar. Tapi persiapan pernikahan sejatinya juga mencakup aspek batin: kestabilan emosi, pengelolaan stres, bahkan simulasi menghadapi kejadian tak terduga.

4. Komunitas Harus Jadi Support System

Keluarga, RT/RW, dan teman dekat bisa berperan aktif mendeteksi potensi konflik atau gangguan yang mengarah ke kekerasan.

5. Cinta Bukan Tentang Seremoni, Tapi Komitmen

Pernikahan Ahmad dan Faridah mengingatkan bahwa janji sehidup semati itu bukan retorika. Ia diuji dalam kondisi paling sulit, dan terbukti bertahan.

Penutup: Saat Cinta Bertahan di Tengah Luka

Calon pengantin sering diidentikkan dengan kebahagiaan, senyum, dan harapan masa depan. Tapi di Palembang, kisah Ahmad dan Faridah justru memperlihatkan sisi paling gelap dari perjalanan menuju pernikahan: ancaman, dendam, dan luka fisik.

Namun, mereka juga memberi pelajaran paling menyentuh: bahwa cinta sejati tidak menunggu kondisi sempurna. Ia hadir dalam sakit, dalam darah, dalam selang infus dan ruang perawatan. Dan di sanalah janji itu menjadi nyata, dikutip dari laman resmi Inca Berita.

Kita semua berharap keadilan ditegakkan. Tapi di atas segalanya, semoga kejadian ini membuka mata kita semua bahwa calon pengantin adalah manusia biasa—yang butuh perlindungan, bukan hanya perayaan.

Author