Full Day School

Full Day School: Solusi Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia?

Jakarta, incaschool.sch.id – Di sebuah siang terik di Jakarta, saya sempat berbincang dengan Dira, seorang siswi SMP swasta yang baru pulang pukul 4 sore dengan wajah lelah tapi semangat. “Hari ini belajar Fisika, ngerjain project Pramuka, terus latihan tari tradisional juga. Capek, tapi seru sih,” katanya.

Dira adalah salah satu contoh nyata siswa yang mengikuti sistem Full Day School, kebijakan pendidikan yang makin populer dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kota-kota besar. Tapi… sebenarnya apa itu full day school?

Full Day School adalah sistem pembelajaran di mana siswa belajar di sekolah dari pagi hingga sore hari, biasanya mulai pukul 07.00 sampai 15.30 atau bahkan lebih. Ini berbeda dengan sekolah reguler yang biasanya selesai sekitar pukul 12.00 atau 13.00 siang.

Tujuannya? Sederhana, tapi ambisius: membentuk siswa yang lebih disiplin, produktif, dan memiliki kesempatan belajar yang lebih luas, termasuk kegiatan non-akademik seperti ekstrakurikuler, pendidikan karakter, dan penguatan soft skill.

Namun, seperti biasa, yang “kelihatannya bagus” di atas kertas belum tentu mulus di lapangan. Sistem ini menuai banyak pujian, tapi juga kritik yang cukup keras. Dari sisi siswa, orang tua, bahkan guru. Nah, di artikel ini kita akan kupas tuntas soal full day school dari berbagai sisi—biar kamu bisa lihat lebih jernih, bukan sekadar ikut tren.

Latar Belakang Munculnya Full Day School di Indonesia

Full Day School

Sistem full day school bukanlah murni ide baru di Indonesia. Beberapa sekolah internasional atau swasta elit bahkan sudah menerapkannya sejak dua dekade lalu. Tapi, konsep ini mulai ramai diperbincangkan secara nasional sejak 2016 ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Mendikbud saat itu, Muhadjir Effendy, menggagas program “Penguatan Pendidikan Karakter” (PPK).

Alasan di baliknya?

  1. Mencegah anak terlibat kegiatan negatif sepulang sekolah.
    Banyak anak yang pulang lebih cepat dari orang tua, sehingga rentan terhadap pengaruh lingkungan.

  2. Memaksimalkan waktu belajar dan pembentukan karakter.
    Dengan waktu lebih panjang di sekolah, siswa bisa mengikuti kegiatan bimbingan kepribadian, nilai-nilai budaya, bahkan skill abad ke-21.

  3. Menyesuaikan ritme global.
    Negara-negara seperti Jepang dan Finlandia juga dikenal dengan model pembelajaran lebih intensif dan menyeluruh, meski pendekatannya berbeda.

Namun, tentu saja tidak semua sepakat. Beberapa pihak menganggap pendekatan ini terlalu memaksakan, apalagi untuk sekolah negeri di daerah yang infrastrukturnya belum memadai. Guru pun terbebani jam kerja lebih panjang, belum lagi soal biaya tambahan.

Saya ingat percakapan dengan seorang guru SD di Semarang, Bu Ratna. “Anak-anak memang jadi lebih ‘terjaga’ aktivitasnya, tapi saya pribadi, tiap pulang rasanya pinggang mau copot. Belum ngoreksi tugas, belum nyiapin materi buat besok,” ujarnya sambil tersenyum pahit.

Kelebihan Full Day School—Disiplin, Pembinaan Karakter, dan Soft Skill

Oke, mari kita jujur dulu: sistem full day school memang punya sisi positif yang patut diakui.

1. Ruang Lebih Banyak untuk Ekstrakurikuler

Di sekolah yang menerapkan full day school, siswa biasanya punya jam khusus untuk mengikuti ekstrakurikuler seperti coding, teater, robotik, kewirausahaan, sampai cooking class. Ini mendorong keseimbangan akademik dan non-akademik.

2. Penguatan Karakter Sejak Dini

Lewat program PPK, banyak sekolah menambahkan sesi pembelajaran etika, moral, nilai budaya lokal, hingga pendidikan agama. Alih-alih hanya menjejali anak dengan hafalan rumus, siswa diajak berdiskusi, bermain peran, atau simulasi kehidupan.

3. Meningkatkan Disiplin dan Manajemen Waktu

Dengan waktu sekolah lebih panjang, siswa belajar untuk mengatur energi, waktu istirahat, bahkan tanggung jawab terhadap tugas harian. Mereka jadi terbiasa hidup dengan ritme yang terstruktur.

4. Membantu Orang Tua yang Bekerja

Orang tua pekerja kadang kesulitan mengawasi anak setelah jam sekolah. Full day school memberi rasa aman karena anak tetap dalam pengawasan sekolah sampai sore.

Risa, seorang ibu dua anak di Bekasi, mengaku merasa lebih tenang. “Anak saya pulang jam 4 sore, saya juga baru pulang kerja. Jadi saya nggak khawatir dia main terus tanpa kontrol. Dia malah jadi lebih terarah.”

Kritik Terhadap Full Day School—Kelelahan, Biaya, dan Ketimpangan Fasilitas

Namun seperti dua sisi mata uang, full day school juga punya sejumlah kelemahan yang tak boleh diabaikan. Ini terutama dirasakan oleh siswa, guru, dan sekolah di daerah dengan keterbatasan sarana.

1. Risiko Kelelahan Mental dan Fisik

Belajar dari pagi sampai sore itu bukan hal ringan, terutama bagi anak-anak usia dini. Banyak siswa yang mengeluh capek, kehilangan waktu bermain, atau bahkan stres. Apalagi kalau sistemnya masih berfokus pada ceramah, tugas, dan hafalan.

2. Beban Tambahan Bagi Guru

Guru pun tak luput dari tekanan. Mereka harus menyiapkan lebih banyak materi, mendampingi anak lebih lama, dan tetap menjaga semangat mengajar. Beberapa studi menunjukkan burnout guru meningkat pada sekolah yang menerapkan sistem ini tanpa manajemen kerja yang memadai.

3. Ketimpangan Fasilitas dan SDM

Full day school sukses di sekolah elit atau perkotaan belum tentu berhasil di sekolah pinggiran. Banyak sekolah yang kekurangan ruang kelas, kantin sehat, ruang istirahat, atau tenaga pendamping. Maka tak heran, banyak kritik muncul dari daerah.

4. Meningkatkan Biaya Operasional

Waktu belajar lebih panjang berarti kebutuhan listrik, air, makanan, keamanan, hingga kegiatan tambahan juga meningkat. Untuk sekolah negeri, ini bisa jadi beban APBD. Untuk sekolah swasta, tentu berdampak pada biaya SPP.

Jalan Tengah: Bisa Nggak Full Day School Jadi Lebih Adaptif?

Jadi, apakah full day school perlu dihapus? Belum tentu.

Yang kita butuhkan adalah versi adaptif. Bukan pemaksaan jam belajar panjang semata, tapi sistem yang fleksibel dan kontekstual. Berikut beberapa pendekatan yang bisa dilakukan:

A. Model Hybrid atau Semi Full Day

Alih-alih menerapkan full day setiap hari, sekolah bisa menetapkan jadwal 2–3 hari dengan kegiatan tambahan sore. Hari lain tetap pulang tengah hari. Ini memberi keseimbangan antara pembelajaran dan waktu istirahat.

B. Pelibatan Komunitas

Program sore hari bisa melibatkan komunitas luar: seperti UKM, pelatih profesional, atau alumni. Ini meringankan beban guru dan memperkaya pengalaman siswa.

C. Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas

Jam belajar panjang tanpa metode kreatif hanya akan menambah beban. Maka, pengembangan kurikulum yang interaktif dan berpusat pada siswa menjadi krusial.

D. Perbaiki Infrastruktur dan SDM Terlebih Dahulu

Pemerintah daerah perlu mengevaluasi kesiapan sekolah sebelum menerapkan full day school. Fokus pada pemerataan fasilitas jauh lebih penting ketimbang mengejar jam belajar.

Penutup: Bukan Soal Panjang Jam Belajar, Tapi Makna dari Setiap Menit di Sekolah

Akhirnya, pertanyaan kuncinya bukanlah “Apakah kita butuh full day school?” tapi “Apakah sekolah kita sudah jadi ruang belajar yang aman, relevan, dan membahagiakan?”

Banyak negara maju tidak menerapkan full day school, tapi tetap sukses mencetak generasi berkualitas—karena mereka fokus pada makna pendidikan, bukan lamanya duduk di kelas.

Kita boleh punya sistem yang keren, tapi jika anak pulang sekolah dengan lelah dan kepala penuh tekanan, maka sekolah kehilangan rohnya.

Jadi, kalau kamu seorang siswa, orang tua, atau pengajar, mari lihat full day school sebagai peluang, bukan beban. Tapi peluang ini harus dirancang dengan bijak—agar setiap jam di sekolah menjadi waktu yang bermakna, bukan sekadar formalitas.

Kalau kamu punya cerita atau pengalaman tentang full day school, yuk berbagi. Karena pendidikan yang baik lahir bukan hanya dari kebijakan, tapi juga dari suara kita semua.

Baca Juga Artikel dari: Boarding School: Lebih dari Sekadar Sekolah Berasrama

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan

Author