Jakarta, incaschool.sch.id – Kalau kita berjalan kaki menyusuri gang kecil di daerah pinggiran Jakarta, lalu bandingkan dengan lorong sekolah unggulan di pusat kota, kita akan menyadari satu hal yang menyakitkan tapi nyata: kesetaraan sekolah di Indonesia belum benar-benar terjadi.
Pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun memang sudah lama digaungkan. Tapi kenyataannya, akses dan kualitas pendidikan masih sangat timpang, tergantung lokasi, latar belakang ekonomi, hingga kebijakan daerah. Sekolah-sekolah di kota besar seperti Bandung, Surabaya, atau Yogyakarta mungkin punya ruang kelas ber-AC, laboratorium lengkap, dan guru-guru tersertifikasi. Tapi di banyak wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), murid harus belajar di ruang kelas semi permanen—kadang bahkan tanpa guru tetap.
Saya pernah bertemu Rian, siswa SMP di pelosok NTT, yang harus berjalan kaki lebih dari 4 km tiap hari untuk sekolah. Sementara itu, di satu SMA swasta elite di Jakarta Selatan, siswanya belajar coding dengan iPad generasi terbaru.
“Apakah keduanya sedang menempuh pendidikan yang sama?”
Secara kurikulum, mungkin iya. Tapi secara pengalaman, akses, dan peluang masa depan? Sangat berbeda.
Kesetaraan sekolah bukan hanya soal bisa duduk di bangku pendidikan, tapi soal memastikan setiap anak—dari Sabang sampai Merauke—punya hak, alat, dan ruang yang sama untuk tumbuh. Dan inilah yang masih menjadi PR besar negeri ini.
Bentuk-Bentuk Ketimpangan dalam Dunia Sekolah—Lebih dari Sekadar Gedung
Mari kita pecah apa saja yang sebenarnya dimaksud dengan kesetaraan dalam konteks pendidikan, terutama sekolah dasar hingga menengah. Karena sering kali, masalah ini disalahpahami hanya sebagai “masalah fasilitas”. Padahal, ketimpangannya menyentuh banyak sisi.
1. Fasilitas Fisik
Ini yang paling terlihat. Sekolah yang satu punya perpustakaan digital, satunya lagi belum punya perpustakaan fisik. Ada yang punya lapangan basket indoor, ada pula yang belajar di ruang kelas dengan atap bocor saat hujan.
Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa masih ada ribuan ruang kelas rusak berat di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar ada di daerah timur atau pedesaan terpencil.
2. Akses Teknologi
Saat pandemi memaksa pembelajaran daring, kesenjangan ini makin terasa. Anak-anak di kota bisa dengan mudah belajar lewat Zoom, tapi banyak siswa di pedalaman bahkan tidak punya sinyal, apalagi gawai.
Kesetaraan digital belum merata. Padahal sekarang, literasi teknologi sudah jadi bagian penting dari kualitas pendidikan.
3. Kualitas Guru
Ini sering terabaikan. Guru adalah ujung tombak. Tapi distribusinya tidak merata. Banyak sekolah unggulan memiliki guru tersertifikasi dan lulusan universitas ternama. Sementara di pelosok, ada sekolah yang hanya diampu oleh 1–2 guru untuk semua mata pelajaran.
Program Guru Garis Depan dan SM-3T memang hadir, tapi jumlahnya belum cukup untuk menutup ketimpangan ini.
4. Kurikulum yang Tidak Kontekstual
Kurikulum nasional memang seragam, tapi implementasinya bisa timpang jika tidak disesuaikan dengan realitas lokal. Misalnya, materi biologi tentang keanekaragaman hayati bisa lebih hidup jika disesuaikan dengan konteks hutan Papua atau laut Maluku. Tapi kalau semuanya seragam, anak-anak tidak punya ruang untuk melihat keunggulan daerahnya sendiri.
Cerita dari Lapangan—Murid, Guru, dan Mimpi yang Terjepit
Kisah tentang ketimpangan sekolah bukan sekadar data. Ini tentang manusia—anak-anak yang ingin belajar, guru yang ingin mengajar, dan sistem yang sering kali tidak berpihak.
Kisah 1: Ani dari Kalimantan Utara
Ani duduk di kelas 6 SD. Sekolahnya terletak di daerah perbatasan. Ia satu dari sedikit siswa yang masih aktif datang ke sekolah, karena banyak teman-temannya sudah membantu orang tua di kebun.
“Kalau hujan, kami tidak datang. Jalanan becek, tidak ada jembatan,” katanya polos.
Ani ingin jadi perawat. Tapi bahkan untuk masuk SMP, dia harus pindah desa karena desanya tidak punya sekolah lanjutan. Itu pun harus tinggal dengan saudara, karena orang tuanya tidak mampu membiayai kos.
Kisah 2: Pak Edi di Lombok Timur
Pak Edi adalah guru honorer yang sudah 15 tahun mengajar di sekolah dasar negeri. Gajinya? Kadang hanya Rp500.000 per bulan. Tapi ia tetap bertahan.
“Anak-anak di sini tidak punya banyak pilihan. Kalau saya mundur, siapa yang ajar mereka?” ujarnya.
Tiap pagi, Pak Edi datang naik sepeda motor tua. Mengajar semua mata pelajaran dari kelas 1 sampai kelas 6. Ia juga merangkap sebagai kepala sekolah karena kekurangan staf.
Cerita seperti ini terjadi di banyak tempat. Di balik angka-angka rapor pendidikan nasional, ada kehidupan yang berjalan dengan segala keterbatasan.
Upaya yang Sudah dan Sedang Dilakukan—Tapi Apakah Cukup?
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Sejumlah program sudah dan sedang dijalankan untuk mengejar kesetaraan pendidikan, antara lain:
1. Program Indonesia Pintar (PIP)
Bantuan uang tunai bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Meski cukup membantu, implementasinya belum merata. Banyak siswa di daerah tidak tahu cara mencairkannya atau bahkan tidak tahu bahwa mereka berhak.
2. Digitalisasi Sekolah
Pemerintah gencar mengadakan Chromebook, WiFi, dan pelatihan digital untuk guru. Tapi tanpa infrastruktur dasar seperti listrik dan sinyal yang stabil, program ini tak berjalan maksimal di daerah tertentu.
3. Revitalisasi Sekolah Rusak
Setiap tahun, ada alokasi anggaran khusus untuk renovasi dan pembangunan ruang kelas. Tapi antreannya panjang, dan sering kali terkendala transparansi anggaran.
4. Reformasi Kurikulum Merdeka
Kurikulum ini menawarkan fleksibilitas dan kontekstualisasi. Ini langkah maju, tapi butuh waktu dan kesiapan guru agar tidak hanya jadi formalitas.
Apakah semua ini cukup? Mungkin belum. Tapi ini adalah pijakan awal. Kuncinya adalah monitoring dan keterlibatan masyarakat. Kesetaraan sekolah bukan hanya tugas Kemendikbud, tapi tanggung jawab bersama.
Membangun Kesetaraan dari Bawah—Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pertanyaannya sekarang: sebagai bagian dari masyarakat, apakah kita bisa berkontribusi untuk kesetaraan pendidikan? Jawabannya: tentu bisa.
1. Dukung Gerakan Literasi dan Donasi Buku
Ada banyak komunitas seperti Taman Baca Pelangi, Indonesia Mengajar, atau Sahabat Guru. Donasi buku, alat tulis, atau bahkan waktu (jadi relawan) bisa berdampak sangat besar.
2. Bantu Suarakan Ketimpangan
Media sosial bukan hanya untuk hiburan. Gunakan untuk menyebarkan cerita dari pelosok. Saat publik sadar, tekanan ke pemerintah untuk bertindak pun lebih besar.
3. Berkolaborasi dengan Sekolah Lokal
Banyak profesional muda kini terlibat dalam program mentoring, kelas inspirasi, atau pelatihan daring untuk siswa di daerah. Kamu bisa mulai dari hal kecil: ajari adikmu, bantu anak tetangga belajar, atau berbagi skill di komunitas lokal.
4. Kritis terhadap Sistem, Tapi Tetap Bergerak
Tidak cukup hanya mengkritik kurikulum atau kualitas guru. Kita juga harus membantu menemukan solusi. Karena kadang, perubahan besar berawal dari gerakan kecil yang konsisten.
Dan jangan lupa: pendidikan yang merata dan adil tidak hanya menguntungkan mereka yang kurang akses, tapi juga membentuk bangsa yang utuh—tanpa kelas dan sekat.
Kesimpulan: Kesetaraan Sekolah Bukan Mimpi, Tapi Jalan Panjang yang Harus Ditempuh Bersama
Membangun sistem pendidikan yang setara memang bukan pekerjaan sehari semalam. Tapi jika kita percaya bahwa setiap anak punya hak yang sama untuk bermimpi, maka memperjuangkan kesetaraan sekolah adalah langkah logis dan moral yang tak bisa ditunda.
Bukan hanya untuk mereka yang tinggal di perbatasan atau pegunungan. Tapi juga untuk anak-anak kita, agar tumbuh di dunia yang adil.
Karena pendidikan yang setara adalah fondasi dari masyarakat yang lebih cerdas, empatik, dan manusiawi.
Dan itu dimulai dari satu hal: peduli.
Baca Juga Artikel dari: Sekolah Rakyat: Gerakan Hijau dari Sekolah Masa Depan Bumi
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan