Literasi Bela Negara

Literasi Bela Negara: Bukan Hafalan Pancasila Tapi Soal Karakter

Literasi Bela NegaraJakarta, incaschool.sch.id – Di suatu upacara hari Senin, Dina—siswi kelas 10 di sebuah SMA negeri di Depok—berdiri tegak menyanyikan Indonesia Raya. Seragamnya rapi, bendera naik perlahan, dan petugas Paskibra di depan melangkah gagah. Tapi saat ditanya, “Apa arti bela negara buatmu?” Dina diam beberapa detik. “Kayaknya… cinta tanah air ya, Kak?” jawabnya ragu.

Kisah Dina bukan cerita langka. Di banyak sekolah, pemahaman tentang literasi bela negara seringkali berhenti pada simbol dan formalitas. Padahal konsep ini jauh lebih dalam.

Literasi bela negara adalah pemahaman mendalam dan reflektif tentang peran warga negara dalam menjaga, merawat, dan membangun Indonesia. Bukan cuma soal mengangkat senjata, tapi juga mencakup nilai, sikap, dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Kementerian Pertahanan RI, bela negara mencakup lima nilai dasar: cinta tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, yakin Pancasila ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa, dan memiliki kemampuan awal bela negara.

Namun literasi bukan sekadar tahu. Literasi adalah paham, kritis, dan bisa mengaplikasikan nilai tersebut dalam konteks kekinian.

Misalnya, bagaimana pelajar menyikapi hoaks politik? Apakah siswa sadar bahwa menjaga kerukunan antaragama juga bagian dari bela negara? Apakah generasi muda paham pentingnya memilih pemimpin yang bersih dan bertanggung jawab?

Di sinilah urgensi literasi bela negara di sekolah: menjadikan nilai-nilai kebangsaan relevan, membumi, dan hidup dalam keseharian.

Transformasi Konsep Bela Negara: Dari Militeristik ke Edukatif-Humanistik

 

Dulu, konsep bela negara identik dengan dunia militer: seragam loreng, senjata, pelatihan fisik, dan disiplin ala tentara. Tak salah—karena konteks masa lalu, terutama saat negara dalam kondisi ancaman bersenjata, memang menuntut itu.

Tapi sekarang, perang sudah berubah bentuk. Ancaman hari ini datang dalam rupa disinformasi, intoleransi, polarisasi politik, dan budaya konsumtif yang melemahkan identitas bangsa.

Maka, pendekatan bela negara juga harus bergeser. Bukan militeristik, tapi edukatif dan humanistik. Bukan hanya soal fisik, tapi menyentuh kesadaran kritis, empati, dan tanggung jawab sosial.

Contohnya bisa kita lihat dari gerakan siswa di salah satu SMK di Klaten yang membuat kampanye digital melawan hoaks saat Pemilu 2024. Mereka bukan aktivis politik, tapi sadar bahwa melawan misinformasi adalah bentuk bela negara berbasis literasi digital.

Atau kegiatan pelajar di Papua yang mengembangkan aplikasi untuk menerjemahkan bahasa daerah ke Bahasa Indonesia—agar budaya lokal tetap hidup. Ini juga bentuk bela negara: menjaga warisan bangsa lewat teknologi.

Sekolah punya peran vital dalam perubahan pendekatan ini. Bela negara harus diajarkan bukan dengan menakuti, tapi dengan menginspirasi. Bukan dengan doktrin, tapi dialog. Siswa bukan objek indoktrinasi, tapi subjek kritis yang diajak berpikir dan bertindak.

Menyisipkan Literasi Bela Negara dalam Kurikulum dan Aktivitas Sekolah

Pertanyaan penting: bagaimana caranya membuat literasi bela negara hidup di lingkungan sekolah?

Jawabannya: integrasi kontekstual. Artinya, nilai-nilai bela negara tidak diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri yang membosankan, tapi disisipkan dalam semua pelajaran dan aktivitas sekolah—secara relevan.

Beberapa cara efektif:

  1. Dalam pelajaran sejarah: Tidak hanya menghafal tanggal, tapi memahami perjuangan lokal di daerah masing-masing. Siswa diajak menelusuri jejak pahlawan di kampungnya.

  2. Dalam pelajaran bahasa Indonesia: Siswa menulis opini atau esai tentang kondisi bangsa, isu toleransi, atau tanggung jawab sosial.

  3. Dalam pelajaran seni dan budaya: Mengenalkan alat musik, tarian, dan bahasa daerah sebagai bagian dari identitas nasional yang harus dijaga.

  4. Proyek kewirausahaan sosial: Siswa membuat bisnis kecil yang tidak hanya mencari untung, tapi juga berdampak positif ke lingkungan sekitar.

  5. Pendidikan digital dan media literasi: Melatih siswa mengenali hoaks, framing media, dan pentingnya mengonsumsi informasi dari sumber tepercaya.

Di luar kelas, banyak juga aktivitas ekstrakurikuler yang bisa menumbuhkan kesadaran bela negara: teater sekolah dengan tema kebangsaan, debat tentang isu nasional, sampai program kunjungan ke museum atau lembaga kenegaraan.

Yang paling penting: guru sebagai role model. Bukan hanya mengajarkan, tapi menunjukkan lewat sikap. Misalnya dengan memberi ruang diskusi terbuka, mendengarkan suara siswa, dan tidak diskriminatif.

Tantangan dalam Membangun Literasi Bela Negara di Sekolah

Meski terlihat menjanjikan, membangun literasi bela negara bukan tanpa hambatan. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi—baik oleh guru, siswa, maupun sistem pendidikan secara umum.

1. Kultur Formalistik

Upacara rutin dilakukan, lagu wajib dinyanyikan, tapi tanpa pemahaman yang mendalam. Banyak siswa merasa kegiatan itu hanya “ritual wajib” tanpa makna. Literasi hanya menjadi hafalan, bukan kesadaran.

2. Minimnya Pelatihan Guru

Tidak semua guru memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan konsep bela negara dalam mata pelajaran mereka secara kontekstual. Butuh pelatihan, bahan ajar baru, dan pendekatan pedagogi yang lebih fleksibel.

3. Ketimpangan Akses Informasi

Siswa di kota besar mungkin punya akses pada berbagai media dan referensi, tapi di daerah terpencil? Banyak yang masih belum akrab dengan konsep literasi kritis, apalagi bela negara dalam bentuk non-militer.

4. Polarisasi Politik dan Agama

Ironisnya, justru banyak konflik yang merusak rasa kebangsaan datang dari lingkungan sekitar. Konten provokatif di media sosial, ujaran kebencian antar kelompok, hingga narasi agama-politik yang ekstrem. Siswa yang belum punya literasi kuat akan mudah terpengaruh.

Tantangan-tantangan ini tidak bisa diselesaikan oleh sekolah saja. Butuh kolaborasi—antara guru, orang tua, media, pemerintah, dan tentu saja siswa sendiri.

Membangun Generasi Melek Literasi Bela Negara: Refleksi dan Harapan

Mari kembali ke Dina—siswi yang tadi hanya bisa menjawab “cinta tanah air” saat ditanya soal bela negara. Kini, setelah mengikuti kelas PPKn berbasis proyek, ia terlibat dalam forum pelajar lintas sekolah yang mendiskusikan toleransi antaragama. Ia juga membantu merancang kampanye “Pelajar Lawan Hoaks” di media sosial sekolahnya.

Dina bukan lagi pelajar pasif. Ia mulai kritis terhadap informasi. Mulai memahami bahwa bela negara bukan sekadar simbol, tapi aksi nyata.

Inilah harapan kita. Generasi muda yang tidak hanya bangga sebagai warga Indonesia, tapi tahu bagaimana menjaga dan membangun bangsanya lewat cara mereka sendiri.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  • Sebagai guru: Jangan bosan menanamkan nilai-nilai kebangsaan secara kontekstual. Tunjukkan lewat sikap, bukan ceramah.

  • Sebagai siswa: Jadilah pelajar yang bertanya, bukan hanya menerima. Kritisi narasi, refleksikan sikap, dan libatkan diri dalam isu sosial.

  • Sebagai orang tua: Bangun diskusi soal Indonesia di rumah. Bicarakan berita, sejarah, dan perbedaan dengan cara yang sehat.

  • Sebagai warga digital: Lawan hoaks, viralkan kebaikan, dan sebarkan cerita inspiratif tentang Indonesia yang beragam.

Penutup:

Literasi bela negara adalah tentang tahu, paham, dan peduli. Bukan hanya hafalan lambang negara atau slogan semangat. Ini soal kesadaran menjadi bagian dari Indonesia—dengan segala keindahan, tantangan, dan tanggung jawabnya.

Jika kita ingin generasi muda benar-benar mencintai bangsa ini, jangan ajarkan mereka lewat ketakutan. Ajarkan lewat pengalaman, dialog, dan peran nyata.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Tentang: Pengetahuan

Baca Juga Artikel Dari: Graduation Rates: Reflecting School Success and Student Progress

Author